
Pemerintah Indonesia terus memantau kebijakan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang dinilai dapat berdampak signifikan pada petani kecil penghasil komoditas ekspor, seperti cokelat, karet, kopi, hingga kelapa sawit.
Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, menyampaikan bahwa Indonesia masih menunggu tindak lanjut dari Uni Eropa terkait hasil negosiasi mengenai EUDR.
“Ya, terakhir kita menyampaikan segera pertanyaan buat mereka secara tertulis. Janjinya mereka akan menjawab secara tertulis juga,” ujar Dida, dikutip dari Antara, Kamis (3/7).
Indonesia dan Uni Eropa sebelumnya telah menggelar dialog bilateral pada 4 Juni 2025 di Brussel, Belgia. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia meminta kejelasan mengenai sejumlah hal, mulai dari dasar hukum, metode klasifikasi risiko, pengakuan terhadap sistem legalitas nasional, potensi ketidaksesuaian dengan aturan WTO, hingga beban administratif bagi petani kecil yang wajib memenuhi kewajiban geolokasi dan pelacakan digital.
Mengutip laman resmi Uni Eropa, Peraturan Deforestasi Uni Eropa (Peraturan (UE) 2023/1115) yang diterbitkan pada pertengahan 2023 bertujuan meminimalkan deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan komoditas pertanian yang masuk ke pasar Eropa. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi keanekaragaman hayati UE hingga 2030.

Sejumlah produk yang tercakup di antaranya kayu, karet, sapi, kopi, kakao, minyak kelapa sawit, serta kedelai dan turunannya. Komisi UE juga mempertimbangkan untuk memperluas daftar komoditas ke depannya.
Dengan adanya EUDR, operator atau pedagang yang menempatkan atau mengekspor komoditas ke pasar Eropa wajib memastikan produk tidak berasal dari lahan yang baru saja mengalami deforestasi atau degradasi hutan.
Awalnya, aturan ini dijadwalkan berlaku pada 30 Desember 2024. Namun, Parlemen dan Dewan Uni Eropa telah menyetujui usulan Komisi untuk menunda penerapan selama satu tahun guna memberi waktu lebih bagi perusahaan dan otoritas untuk mempersiapkan diri.
Jika usulan ini resmi diadopsi, penerapan EUDR akan dimulai pada 30 Desember 2025 untuk operator dan pedagang besar, sementara perusahaan mikro dan kecil diberi waktu hingga 30 Juni 2026.
Kinerja ekspor CPO
Kontribusi ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia tetap signifikan terhadap neraca perdagangan. Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengungkapkan bahwa sepanjang Januari hingga Mei 2025, nilai ekspor CPO mencapai USD 8,90 miliar dengan volume 8,30 juta ton.
Negara tujuan utama ekspor CPO Januari hingga Mei 2025 adalah Pakistan, India dan China.

Secara bulanan, nilai ekspor CPO pada Mei 2025 tercatat USD 1,85 miliar, naik signifikan 61,50 persen dibanding bulan sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir, tren ekspor CPO berfluktuasi.
Pada 2020, nilai ekspor mencapai USD 17,36 miliar (volume 25,94 juta ton), naik ke USD 26,76 miliar di 2021 (25,62 juta ton), lalu meningkat lagi menjadi USD 27,74 miliar di 2022 (24,99 juta ton). Tahun 2023 nilai turun ke USD 22,69 miliar (26,13 juta ton), dan 2024 kembali turun menjadi USD 20,05 miliar (21,64 juta ton).
Kinerja ekspor kakao
Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara produsen kakao terbesar di dunia. Sepanjang 2024, volume ekspor kakao mencapai 346.398 ton dengan nilai USD 2,64 juta atau sekitar Rp 42,81 miliar (kurs Rp 16.179 per dolar AS).
Volume ini naik dari 339.989 ton pada 2023 (USD 1,19 juta), meskipun lebih rendah dari 385.521 ton pada 2022 (USD 1,59 juta).

Untuk Januari–Maret 2025, volume ekspor kakao tercatat 92.737 ton dengan nilai USD 1,01 juta atau sekitar Rp 16,35 miliar.
Meski menjadi produsen besar, Indonesia juga masih mengimpor kakao setiap tahun. Sepanjang Januari–Maret 2025, volume impor tercatat 87.165 ton dengan nilai USD 768,52 ribu atau Rp 12,43 miliar.
Kinerja ekspor kopi

Dalam lima tahun terakhir, kinerja ekspor kopi Indonesia tercatat fluktuatif. Pada 2021, volume ekspor kopi mencapai 387,26 juta kg dengan nilai USD 858,56 juta. Volume naik pada 2022 menjadi 437,56 juta kg (USD 1,15 miliar), kemudian turun pada 2023 menjadi 279,94 juta kg (USD 929,01 juta).
Pada 2024, ekspor kembali meningkat ke 316,72 juta kg dengan nilai tertinggi lima tahun terakhir, yakni USD 1,64 miliar atau sekitar Rp 26,88 triliun.
Untuk Januari–April 2025, volume ekspor tercatat 126,92 juta kg dengan nilai USD 709,11 juta atau setara Rp 11,63 triliun. Amerika Serikat tetap menjadi pasar utama dengan volume 20,25 juta kg (USD 128,26 juta), diikuti Belgia, Inggris, Mesir, dan Jerman.