
Di tengah teriknya Kota Jeddah yang menyentuh suhu 42 derajat Celcius, kawasan Al Balad tetap berdiri tenang, seolah tidak mempengaruhi waktu.
Di sela-sela peliputan kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Arab Saudi, kumparan berkesempatan untuk mengunjungi kawasan itu yang menyuguhkan kisah masa lalu dalam balutan nuansa Timur Tengah yang kental.
Di sini, antara dinding-dinding kusam berlapis kayu dan jendela-jendela tua yang mengintip dari bangunan berabad-abad lalu, sejarah dan kehidupan modern berkelindan dalam harmoni yang magis.
Al Balad--yang dalam bahasa Arab berarti "kota"--adalah kawasan tua di Jeddah, kota pelabuhan di tepi Laut Merah yang menjadi gerbang utama bagi para jemaah haji dari berbagai penjuru dunia.
Di kawasan inilah denyut pertama kota Jeddah berdebar, jauh sebelum modernisasi datang membalutnya dengan gedung-gedung kaca dan jalan tol delapan lajur. Al Balad berdiri sebagai penjaga waktu, tempat masa lalu masih hidup dalam setiap celah bangunannya.

Deretan bangunan tradisional Hijazi berdiri anggun meski telah termakan zaman. Dinding-dindingnya terbuat dari batu karang laut, dipadu kayu jati dan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan pengaruh arsitektur Timur Tengah, Afrika, dan bahkan India. Yang paling khas adalah rawasheen, jendela kayu menjorok yang dahulu digunakan perempuan untuk mengintip jalanan tanpa terlihat dari luar. Banyak bangunan ini telah direstorasi dan kini diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 2014.
Kawasan ini bukan hanya lanskap bisu dari sejarah, tapi juga ruang hidup yang penuh warna. Di gang-gangnya yang sempit, para pedagang menjajakan aneka rupa: dari tasbih dan parfum khas Arab, hingga sajadah berbordir emas, kurma ajwa, dan perhiasan emas.
Alunan musik lembut dari pengeras suara toko-toko souvenir mengalun pelan, menyatu dengan suara tawa para pelancong dan penduduk lokal yang berbicara dalam bahasa Arab bercampur Inggris, Urdu, dan Indonesia.

Tak jauh dari gerbang utama kawasan ini, deretan kafe mungil dengan kursi kayu dan lampu lentera yang bergoyang tertiup angin mengundang siapa pun untuk singgah. Aroma qahwa--kopi Arab--dengan rasa kapulaga yang kuat berpadu manis dengan kudapan khas seperti mutabbaq, dan sambosa.
Di salah satu sudut, terdengar alunan bunyi oud alat musik dawai Timur Tengah, membungkus suasana dengan nada-nada yang seolah membawa kenangan pada masa kejayaan perdagangan rempah di Laut Merah.
Al Balad bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah ruang kenangan, tempat di mana arus manusia, barang, dan budaya pernah berkumpul dan melebur. Di masa lalu, para saudagar dari Hadramaut, Gujarat, Zanzibar, dan Istanbul berdagang di sini, membawa serta kisah-kisah yang kini melekat dalam aroma rempah dan senyum para pedagang.

Kala matahari mulai condong ke barat, bayang-bayang bangunan tua menjalar di jalanan batu. Suasana menjadi lebih syahdu. Di Al Balad, waktu seolah mengendap di dinding, lantai, dan langit-langit rumah yang masih menyimpan suara langkah para pelaut, pedagang, dan peziarah.
Dan di tengah dunia yang terus berubah, Al Balad tetap berdiri--tua, tenang, dan bijaksana. Sebuah pengingat bahwa di balik panas gurun dan debu jalanan, selalu ada tempat di mana sejarah tak hanya dikenang, tapi juga dihidupi.