
Suatu hari, saya menemani ibu saya berbelanja kebutuhan rumah tangga di sebuah swalayan. Di antara rak-rak yang penuh dengan camilan dan produk olahan, beliau mengambil sebungkus biskuit impor, lalu berkata dengan nada meyakinkan, “Ini sudah aman, sudah ada nomor BPOM-nya. Pasti halal juga.”
Saya hanya mengangguk waktu itu, tidak ingin membantah. Tapi di dalam hati, saya mulai berpikir, benarkah begitu? Apakah cukup dengan label BPOM untuk menyimpulkan sebuah produk itu halal?
Ternyata, tidak. Bahkan bisa dikatakan sangat keliru jika kita menyamakan label BPOM dengan jaminan halal. Padahal dua hal itu berbeda, baik dari sisi lembaga yang mengurus, maupun dari tujuan dan metode penilaiannya. Sayangnya, pemahaman ini belum banyak dimiliki masyarakat. Banyak orang yang merasa tenang begitu melihat “BPOM RI MD” atau “BPOM RI ML” di kemasan makanan, seolah itu adalah cap sah tidak hanya dari negara, tetapi juga dari agama.
Sebagai lembaga pemerintah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memang memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keamanan produk yang beredar di masyarakat. Produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan produk-produk kesehatan lainnya harus melalui serangkaian uji laboratorium sebelum memperoleh izin edar dari BPOM. Uji tersebut meliputi berbagai aspek seperti stabilitas produk, batas aman bahan tambahan, kandungan logam berat, cemaran mikrobiologi, dan parameter toksikologi lainnya. Jika semua aspek keamanan terpenuhi, maka BPOM memberikan izin edar dan mencantumkan nomor registrasi resmi.
Namun yang perlu dicatat, seluruh proses tersebut tidak pernah menyentuh aspek kehalalan produk. BPOM tidak memeriksa apakah produk tersebut mengandung babi, apakah enzimnya berasal dari hewan halal, apakah proses produksinya bebas dari najis, atau apakah gelatinnya berasal dari sapi yang disembelih secara syar’i. Semua itu bukan bagian dari parameter pengawasan BPOM. Dengan kata lain, BPOM berbicara soal "aman untuk dikonsumsi", bukan "boleh dikonsumsi menurut syariat".

Lalu, siapa yang memeriksa kehalalan produk?
Di Indonesia, urusan halal sejak lama menjadi tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika). Mereka memiliki standar sendiri untuk menilai kehalalan suatu produk, termasuk melakukan audit bahan baku, proses produksi, titik kritis, hingga kebersihan fasilitas. Setelah semua tahap itu dilalui, Komisi Fatwa MUI yang akan menentukan apakah produk tersebut layak mendapat sertifikat halal atau tidak.
Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kewenangan terkait pengelolaan sistem sertifikasi halal berpindah ke BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), yang berada di bawah Kementerian Agama. BPJPH kini menjadi lembaga resmi yang berwenang menerbitkan sertifikat halal di Indonesia. LPPOM MUI tetap terlibat, namun perannya kini bergeser sebagai salah satu dari banyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang ditunjuk dan diawasi oleh BPJPH. Penetapan halal tetap berada di tangan Komisi Fatwa MUI, namun administrasi dan sistem pelayanannya menjadi tanggung jawab penuh BPJPH.
Perubahan ini membuat proses perizinan produk menjadi lebih kompleks tetapi lebih sistematis. Kini, jika suatu produk ingin benar-benar dianggap aman dan halal secara legal dan spiritual, maka harus melalui dua jalur: satu ke BPOM untuk izin edar (keamanan), dan satu lagi ke BPJPH untuk sertifikasi halal (syariat). Keduanya memiliki prosedur masing-masing, berkas yang berbeda, serta parameter evaluasi yang tidak tumpang tindih.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak memahami perbedaan ini. Tak jarang konsumen merasa cukup melihat label BPOM dan langsung yakin bahwa produk tersebut juga halal. Di sisi lain, pelaku usaha UMKM pun kadang salah kaprah—mereka menyangka bahwa cukup dengan izin edar dari BPOM, mereka sudah boleh mencantumkan klaim halal di kemasan. Padahal tidak demikian. Tanpa sertifikat halal dari BPJPH, klaim halal pada kemasan justru bisa dianggap pelanggaran.
Saat ini, pemerintah melalui BPJPH telah meluncurkan label halal resmi berbentuk lingkaran berwarna ungu bertuliskan "Halal Indonesia". Label ini adalah satu-satunya tanda halal yang sah menurut regulasi pemerintah. Jika Anda menemukan label ini pada produk, berarti produk tersebut telah melalui audit halal sesuai prosedur dan telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Jika belum ada label tersebut, bukan berarti otomatis haram, namun tetap perlu kehati-hatian dalam memilih.
Konsumen Muslim di Indonesia, yang jumlahnya sangat besar, memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang produk yang mereka konsumsi. Namun hak itu tidak bisa terwujud jika masyarakat tidak dibekali pemahaman yang tepat. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan anggapan turun-temurun bahwa "kalau sudah BPOM, berarti sudah aman dan halal". Sudah waktunya kita menjadi konsumen yang lebih teliti dan lebih sadar.

Jadi mulai sekarang, jika Anda melihat produk dengan label BPOM, jangan langsung merasa semuanya beres. Tanyakan kembali, apakah produk ini juga sudah memiliki sertifikat halal dari BPJPH? Jika belum, jangan ragu untuk mencari tahu lebih lanjut atau memilih produk lain yang sudah tersertifikasi lengkap. Karena makan bukan hanya soal kenyang, tetapi juga soal keyakinan dan ketenangan hati.
Kesimpulannya, BPOM tidak pernah memeriksa kehalalan produk, karena itu memang bukan tugasnya. Tugas mereka adalah memastikan bahwa produk aman dikonsumsi dan memenuhi standar mutu. Sedangkan kehalalan ditentukan oleh lembaga lain, dengan prosedur yang berbeda. Keduanya penting, keduanya perlu kita perhatikan. Tidak cukup hanya satu.
Semoga setelah membaca ini, kita semua jadi lebih paham dan bisa membuat pilihan yang lebih bijak setiap kali berbelanja. Karena sering kali, yang selama ini kita anggap benar, ternyata hanya setengah benar.