Kasus SMA Binus, Komisi X DPR Soroti Satgas Anti-Bullying di Sekolah

2 days ago 1
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menyoroti kasus perundungan di SMA Binus Simprug yang diduga dilakukan oleh 8 siswa terhadap seorang temannya. Ia mempertanyakan keberadaan Satgas Anti-Bullying.

Awalnya, Dede mengungkapkan kekhawatirannya jika aparat sering masuk ke sekolah karena kurang efektifnya Satgas Anti-bullying.

"Saya prihatin kasus bullying ini terjadi di sekolah dengan kriteria unggul dan fasilitas yang mungkin sudah tercukupi. Peran sekolah menjadi sangat penting, saya khawatir dengan fenomena aparat penegak hukum yang jadi sering masuk ke sekolah," kata Dede Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aksi perundungan di SMA Binus Simprug dikatakan menambah panjang kasus bullying yang sedang marak terjadi. Kasus perundungan di Binus School sendiri juga sudah pernah terjadi sebelumnya yakni pada bulan Maret lalu, tepatnya di Binus School Serpong yang melibatkan anak dari artis Vincent Rompies.

Kasus tersebut dilakukan oleh sejumlah oknum murid kelas 12 dengan nama 'Geng Tai' kepada murid kelas 10. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 4 tersangka yakni E (18), R (18), J (18), dan G (19).

Dede pun mengatakan, kasus bullying yang berakhir hingga ke jalur hukum dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Ia menyebut proses belajar mengajar juga jadi tidak efektif.

"Dampaknya sekolah menjadi tempat yang mengerikan, karena dikit-dikit ada penegak hukum. Tentu untuk proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman dan kondusif," tutur mantan Wagub Jawa Barat itu.

"Karena kan kalau menggunakan payung hukum anak SMA sudah kategorinya sudah bukan anak-anak lagi bisa kena delik hukum pidana," sambung Dede.

Padahal Kementerian Pendidikan, Budaya (Kemendikbud) dan Ristek sudah memiliki regulasi terkait masalah bullying di sekolah yakni Permendikbud No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbud ini juga mewajibkan dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) untuk mengurus masalah bullying di sekolah.

"Ketika terjadi bullying di dalam sekolah, satgas kekerasan antibullying itu yang harus bertanggung jawab. Nah apakah di swasta ada? Karena kalau di negeri semua ada," ungkapnya.

Dede menjelaskan, sebenarnya pada Satgas Antibullying ini aparatur yang mengurusnya sudah ada. Hanya sayangnya, aparat yang masuk biasanya hanya bersifat penyuluh dan pembimbing sehingga dinilai kurang maksimal karena tidak ada bagian penegakan hukumnya.

"Jadi kalau misalnya melaporkan sampai ke Polisi dan menggunakan pengacara, ini kan kaitannya jadi harus ada yang dipenjara. Jadinya kan panjang sekali, padahal kalau satgas itu bekerja dengan baik dan sekolah tidak membiarkan maka hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi," ujarnya.

"Nah itu harus kita tanyakan bagaimana di Binus itu ada tidak satgasnya karena satgas ini terdiri dari orang tua, guru, kepala sekolah bahkan hingga keamanan sehingga tidak serta merta permasalahan ini harus diangkat ke penegak hukum. Bisa diselesaikan oleh satgas tadi," tambahnya.

Ia menyayangkan kasus yang terjadi di sekolah justru berakhir pada persoalan gugat menggugat. Sebab, kasus yang berlarut-larut berimbas pada proses pembelajaran.

"Akhirnya endingnya bukan lagi soal pendidikan tapi jadinya proses gugat menggugat, ketika sudah ada proses gugat menggugat artinya proses pendidikannya sudah kacau sudah tidak terjadi karena masuknya ranah hukum," ujar Dede.

"Selama ini kan datangnya ke komisi X lalu kita panggil pihak sekolah nanti diselesaikan dengan jalur pendidikan. Kalau masuk ke ranah hukum datangnya ke komisi III," imbuhnya.

(dwr/taa)

Read Entire Article