
PADA 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila. Sebagai filosofi, dasar dan ideologi negara, sudah sepantasnyalah hari lahir Pancasila diperingati secara nasional. Bahkan 1 Juni dijadikan hari libur nasional. Pancasila telah menjadi fondasi berbangsa sejak Indonesia merdeka, digali dari Bumi Pertiwi sebagai kristalisasi nilai luhur yang menyatukan keberagaman.
JIWA DAN KEPRIBADIAN BANGSA
Dalam semangat merayakan hari lahir Pancasila, baik jika kita mengajukan pertanyaan: apakah Pancasila benar-benar terefleksi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan menginspirasi kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah Pancasila sebagai cita-cita ideal sudah termanisfestasi dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara?
Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Bung Karno pernah berkata: “Pancasila adalah falsafah yang menggambarkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Ia adalah pandangan hidup, pegangan hidup, dan cita-cita hidup bangsa Indonesia.”
Karl Mannheim dalam buku klasiknya (Ideology and Utopia, 1936) mendefinisikan ideologi sebagai sekumpulan ide atau gagasan yang didasarkan pada keadaan sekarang untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan di masa depan.
Dari pandangan Bung Karno dan Mannheim itu jelas terbaca bahwa Pancasila selain sebagai falsafah, dasar, dan ideologi negara, ia juga merupakan 'cita-cita' bangsa Indonesia. Namun, Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 juga mewanti-wanti: “Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila menjadi satu realiteit (realitas), janganlah lupa untuk memperjuangkannya.”
Pidato Pancasila Bung Karno telah merentang masa sangat panjang hingga saat ini ketika kita memperingati hari kelahiran Pancasila yang ke-80. Apakah cita-cita Pancasila sebagai ideologi sudah menjadi realitas, seperti yang diharapkan Bung Karno?
Ada dua pendekatan untuk menilai apakah realisasi Pancasila sebagai ideologi sudah terefleksi dalam kehidupan bangsa Indonesia: pertama, dari perspektif cita-cita dan idealisme dan, kedua, dari perspektif moralitas kebijakan. Pertama, dari perspektif cita-cita dan idealisme, penilaian atas realisasi Pancasila bisa dipindai dari dua ukuran, yaitu das Sein dan das Sollen.
Hans Kelsen, seorang filsuf hukum Austria, menjelaskan perbedaan antara keduanya: das Sein adalah 'apa yang ada' (nilai yang berlaku) dalam prikehidupan masyarakat, sedangkan das Sollen adalah 'apa yang seharusnya ada' (nilai yang diharapkan). Atau dengan kata lain, das Sein adalah 'realitas' yang ada di masyarakat, das Sollen adalah 'cita-cita' yang ingin dicapai.
KESENJANGAN
Seperti semua ideologi, Pancasila tidak luput dari paradoks dalam cita dan realitas. Ada kesenjangan antara das Sein dan das Sollen. Pancasila yang mengandung nilai-nilai luhur, seperti kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial, seharusnya menjadi acuan nilai dalam membangun masyarakat seperti yang dicita-citakan. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai tersebut sering kali tidak terwujud secara utuh.
Kesenjangan antara cita dan realitas seperti dititahkan Pancasila tampak kasatmata dalam persoalan aktual bangsa: maraknya korupsi, ketimpangan sosial, intoleransi, serta kerapuhan etika dalam ruang publik. Fenomena itu menunjukkan nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara. Para pemimpin bisa saja berdalih, bukankah sudah menjadi postulat sejarah peradaban bangsa bahwa tidak semua cita-cita luhur suatu bangsa bisa dicapai dalam realitas dengan sekali tepuk jadi?
Benar bahwa tidak semua cita-cita (das Sollen) serta-merta bisa dilihat dalam realitas (das Sein) kehidupan dalam waktu singkat. Namun, kesadaran seperti itu tidak mesti harus dijadikan permakluman (excuse) terhadap belum terealisasinya Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Lebih bijak jika kita menilai realitas dan realisasi (das Sein) Pancasila baik dalam konteks positif maupun negatif, agar lebih fair dan objektif.
Harus diakui, dalam masyarakat masih sering ditemui fenomena yang justru kontradiktif dengan nilai kemanusiaan (perundungan di sekolah atau di kantor), persatuan (perilaku intoleran berbasis SARA) dan keadilan sosial (korupsi bantuan sosial). Namun, sebaliknya, tak kurang-kurang kelompok masyarakat dengan ikhlas menyalurkan bantuan kemanusiaan di kala saudara sebangsanya tertimpa oleh musibah.
Bukan pemandangan aneh jika setiap jelang Natal beberapa kelompok pemuda Islam ikut membantu persiapan hari raya umat kristiani demi menjaga persatuan bangsa. Sudah banyak kasus korupsi, terutama di daerah, yang dibongkar berkat aduan masyarakat sehingga dana bantuan sosial tidak disalahgunakan. Itu semua adalah contoh kecil, tapi positif, betapa nilai Pancasila nyata ada (das Sein) di masyarakat.
Kedua, dari perspektif moralitas kebijakan, penilaian atas realisasi Pancasila bisa ditakar dengan konsep living ideology dan working ideology. Sebagai living ideology, Pancasila mestinya terefleksi dalam perilaku masyarakat Indonesia dalam hubungan sosial. Pancasila harus mewujud dalam nilai yang hidup (living values) di masyarakat.
Dalam pidato Pancasila pada 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan inti saripati nilai Pancasila ialah gotong royong. Apakah nilai gotong royong ini benar-benar nilai yang hidup di masyarakat Indonesia? Jawabnya: ya! Sekadar contoh: ketika terjadi pembatasan sosial (lockdown) saat pandemi covid-19, nilai gotong royong terlihat dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa instruksi dari pemerintah, banyak warga menggantungkan sembako, nasi bungkus, bahan makanan, masker, dan obat-obatan di pagar rumah mereka. Tetangga sekitar dipersilakan ambil seperlunya sebagai bantuan darurat. Masih banyak contoh lain dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Ini nilai gotong royong yang hidup di masyarakat. Inilah wujud Pancasila sebagai living ideology.
Sebagai working ideology, Pancasila harus menjadi inspirasi dalam membuat kebijakan publik, regulasi, dan penyelenggaraan kekuasaan. Harus jujur diakui, sebagai pedoman moralitas kebijakan, Pancasila belum sepenuhnya terefleksi dalam regulasi dan kebijakan publik. Untuk tidak menyebut semua, masih adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas, korupsi di berbagai lini kehidupan, dan pembiaran tindakan premanisme adalah beberapa contoh betapa sikap, perilaku, dan kebijakan publik tidak selaras dengan norma dan moralitas seperti sabda Pancasila.
Namun, sebaliknya, upaya untuk memberantas korupsi, bantuan sosial untuk kaum lemah, bantuan modal untuk pengusaha kecil, itu sekadar contoh kebijakan publik yang diinsipirasi nilai-nilai Pancasila. Sejatinya, itulah moralitas dalam kebijakan publik. Itulah manifestasi Pancasila sebagai working ideology.
PROYEK PERADABAN
Pancasila sebagai falsafah, dasar, dan ideologi (dan dengan sendirinya ialah cita-cita) negara, tentu bukan proyek politik dan kebudayaan yang bisa menjadi realitas dalam satu-dua generasi. Itu ialah proyek peradaban sepanjang hayat dikandung badan semua manusia Indonesia.
Harus diakui, tatkala aktualisasi Pancasila dalam takaran das Sein dan das Sollen, serta dipahami dalam perspektif living ideology dan working ideology, memang masih ditemukan kontradiksi dan kesenjangan antara cita dan realitas di masyarakat.
Tugas semua elemen bangsa ke depan ialah ikut mempersempit kesenjangan itu. Orangtua dan guru harus menanamkan nilai-nilai kebaikan selaras Pancasila di dalam keluarga dan di sekolah. Elite politik dan pengambil keputusan harus merefleksikan titah Pancasila ke dalam kebijakan dan regulasi. Dengan cara itu, Pancasila tidak akan menjadi retorika-simbolis semata, tapi akan tetap relevan sebagai pemersatu bangsa di tengah dinamika zaman.