Pengusaha-Pedagang Kompak Tolak Rencana Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

22 hours ago 1
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek mendapatkan banyak pertentangan, salah satunya datang dari pengusaha rokok dan pedagang pasar. Rencana tersebut masuk dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai kebijakan yang mengatur terkait kemasan polos sangat eksesif. Sebab, semua desain produk tembakau dibuat seragam atau sama.

"Di mana di situ ada satu pasal yang mengatur akan mengatur mengenai desain dan tulisan. Tetapi tidak menyebut oleh siapa yang akan mengatur. Tiba-tiba muncullah di bulan akhir Agustus itu rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang kami nilai sangat eksesif sekali. Di mana disitu akan diatur mengenai desain kemasan semua dibuat seragam. Nanti kalau saya bilang polos dibilang nggak polos karena masih ada tulisannya masing-masing brand tapi dibuat seragam," kata Henry dalam acara 'Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek' di Perle Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia pun menyebut beberapa hal di RPMK dinilai kurang tepat. Bahkan aturan tersebut dapat memicu kontroversi-kontroversi. Dengan begitu, dia menilai industri hasil tembakau akan dibuat menjadi sunset industry.

"Dan ujung-ujung kan secara perlahan industri ini akan habis. Di beberapa pasal ini menyebutkan bahwa penjualan 200 meter dari tempat pendidikan dan lain-lain. Kemudian ada lagi yang mengatur iklan-iklan di media elektronik maupun media non-elektronik. Dan memang seakan-akan industri ini dipojokkan untuk menjadi stigma industri yang paling berbahaya," terangnya.

Senada, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi mengatakan aturan berjualan rokok kemasan polos dapat membahayakan kelangsungan usaha. Menurutnya, aturan tersebut menyebabkan pengusaha tidak bisa bersaing dengan sehat lantaran semua kemasannya sama.

"Hal ini membahayakan bagi kelangsungan usaha, karena tidak bisa bersaing memperlihatkan keunggulan dari segi brand yang sudah bangun puluhan tahun, ini sama aja kayak rokok-rokok lain, termasuk rokok ilegal," kata Benny.

Kemudian dia menilai aturan tersebut dapat merugikan industri rokok. Saat ada larangan iklan yang menunjukan terang-terangan, pihaknya masih bisa mengakali dengan logo brand. Apabila logo juga tidak diperbolehkan, hal ini dapat merugikan pihaknya..

"Kalau iklan tidak boleh menunjukkan rokok, dilarang ketat, tapi masih boleh pakai logo. Nanti nggak ada lagi, terus terang memberikan kerugian kepada kami dan keuntungan rokok ilegal. Kami sangat mengharapkan tidak terjadi rokok kemasan ini," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (Aparsi) Suhendro mengatakan PP 28/2024 sangat membebani pihaknya lantaran tidak berpihak pada ekonomi rakyat. Dia pun menyoroti aturan larangan berjualan produk tembakau radius 200 meter tidak mempunyai alasan yang jelas.

Dia menyebut larangan berjualan dengan radius 200 meter dapat mengancam keberlangsungan hidup pedagang pasar. Apalagi rokok berkontribusi pada produk fast moving.

"Pp 28/2024 terus terang sangat membebani usaha anggota Aparsi karena tidak pro ekonomi kerakyatan. Poin penolakan 200 meter tidak bisa diterapkan karena dasarnya tidak jelas pertama. Kedua karena gimana pengawasannya. Artinya 200 meter ini nggak bisa," kata Suhendro.

Kemudian pihaknya juga menolak rokok kemasan polos. Dia menilai apabila peraturan tersebut diterapkan akan sulit membedakan antara rokok legal dan rokok ilegal. Selain itu, dengan kemasan rokok polos ini dapat meresahkan konsumen loyal.

"Kemasan polos ini rokok legal dan ilegal jadi sulit membedakan. Kedua, harga jual yang dijual ini dapat meresahkan konsumen loyal. Dua hal ini kami tolak," tegasnya.

(das/das)

Read Entire Article