REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Di tengah desakan yang makin kuat dari negara-negara untuk menghentikan agresi militer di Gaza, Israel justru menggencarkan serangan. Setidaknya 84 orang syahid dalam serangan Israel di daerah kantong tersebut sejak fajar hari Rabu.
Mohammad al-Dreiny, yang tinggal di kamp pengungsi al-Nahda di Gaza utara, mengatakan tentara mengebom sebuah tenda di kamp tersebut, “mengakibatkan sejumlah korban jiwa dan luka-luka”. Dia mengatakan anak-anak yang bermain sepak bola termasuk di antara mereka yang syahid.
Para saksi serangan udara Israel di Jabalia yang menewaskan sedikitnya 50 orang mengatakan kepada Aljazirah bahwa serangan tersebut dilakukan tanpa peringatan apa pun. “Kami sedang tidur ketika sebuah ledakan menghempaskan kami,” kata Anas Saleh. “Rumah tetangga kami dibom dan rumah kami rusak parah. "Kami nyaris tidak bisa melarikan diri. Semua tetangga kami terbunuh."
Warga Palestina lainnya mengatakan ledakan itu “terasa seperti gempa bumi besar”. "Semua rumah hilang, termasuk rumah kami. Kami berhasil keluar dari reruntuhan dan alhamdulillah kami masih hidup," ujarnya.
Sementara enam serangan udara Israel menghantam sekitar Rumah Sakit Eropa dekat Khan Younis, sehari setelah serangan mematikan terhadap fasilitas medis tersebut. Salah satu serangan menghantam buldoser yang sedang membersihkan puing-puing di halaman rumah sakit untuk mengambil jenazah orang yang syahid pada Selasa. Layanan medis di fasilitas tersebut sangat terganggu akibat serangan tersebut, sehingga pasien tidak dapat mengakses fasilitas tersebut dan ambulans tidak dapat meninggalkan kompleks tersebut.
Serangan Israel terhadap rumah sakit di Gaza pada Selasa menewaskan sedikitnya 28 orang, kata juru bicara pertahanan sipil Gaza. Pada Selasa pasukan Israel mengebom dua rumah sakit dalam satu hari.
Salah satu serangan menghantam kompleks Rumah Sakit Eropa dekat Khan Younis dan meninggalkan lubang besar di tanah. Tentara Israel mengklaim mereka menargetkan “pusat komando Hamas” di bawah rumah sakit. Serangan lainnya menghantam Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, menewaskan dua orang, termasuk seorang jurnalis yang terluka.
Hamas mengatakan bahwa mengebom rumah-rumah warga Palestina dan melakukan “pembantaian” tidak akan membawa kemenangan bagi Netanyahu di Gaza. Kelompok tersebut mengatakan bahwa ketika para mediator bertemu di Qatar untuk mengupayakan gencatan senjata, Netanyahu “bergegas untuk meningkatkan agresi dan pembantaian terhadap warga sipil”.
Dalam 48 jam terakhir, para pejabat AS mengatakan ada prospek kesepakatan yang lebih luas dengan Hamas, namun Israel tidak menyampaikan retorika yang sama. Netanyahu setuju mengirim tim perunding ke Qatar karena tekanan AS. Namun, mandat yang mereka emban cukup terbatas.
Dia mengatakan dia bersedia untuk memberikan jeda dalam pertempuran tetapi perang tidak akan berakhir. Netanyahu bersikeras bahwa Israel akan melakukan operasi pada skala yang berbeda di Gaza setelah kabinetnya menyetujui perluasan operasi pada pekan lalu. Dia mengatakan ini akan menjadi perang yang berbeda.
Alon Pinkas, mantan diplomat Israel, mengatakan serangkaian langkah baru-baru ini yang dilakukan pemerintahan Presiden AS Donald Trump memberikan tekanan pada Israel untuk mengakhiri perangnya di Gaza. Langkah-langkah tersebut termasuk keputusan Trump untuk tidak singgah di Israel dalam perjalanannya ke Timur Tengah, perjanjian gencatan senjata AS dengan kelompok Houthi di Yaman, dan perundingan nuklir dengan Iran.
Pinkas mengatakan kepada Aljazirah bahwa Netanyahu kemungkinan akan “bermain waktu” di tengah upaya untuk mencapai kesepakatan Gaza. “Dia akan bernegosiasi karena diminta, dia akan muncul karena ditekan,” ujarnya. “Tetapi menurut saya dia tidak akan menandatangani perjanjian apa pun yang mencakup gencatan senjata permanen, yang berarti akhir perang.”