
Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerapkan pungutan pajak atas aktivitas di media sosial (medsos) dinilai mendesak untuk mencegah kegiatan shadow economy alias ekonomi yang tidak tercatat oleh pemerintah.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan ekonomi Indonesia terus mengalami digitalisasi. Berdasarkan studi Temasek dan Bain (2024), GMV ekonomi digital di Indonesia meningkat 104,55 persen dalam 5 tahun terakhir, sedangkan dari tahun 2023 ke 2024 meningkat 12,5 persen.
Imbas dari digitalisasi ekonomi yang terus terjadi dalam waktu yang cepat, Fajry menyebutkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu perlu beradaptasi dengan perubahan tersebut.
"Digitalisasi ekonomi erat kaitannya dengan shadow economy dan menjadikan pelaku usaha sulit diawasi. Apalagi saat ini marak usaha affiliator melalui media sosial," kata Fajry saat dihubungi kumparan, Rabu (15/7).
Fajry menuturkan, otoritas pajak perlu cara untuk memastikan para pelaku usaha yang menggunakan media sosial dapat patuh dengan ketentuan perpajakan yang ada, salah satunya menggunakan data analitik.
Hal ini, menurut dia, juga selaras dengan kebijakan perpajakan terbaru sebelumnya yakni menjadikan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap toko online.
Namun agar kebijakan ini berkeadilan, pemerintah perlu memastikan kepatuhan para pelaku usaha yang menggunakan media sosial sehingga tidak akan mematikan sektor kreatif.
"Hal tersebut sebenarnya hanya untuk memastikan kepatuhan perpajakan pelaku usaha yang menggunakan platform media sosial, dan hal tersebut sepengetahuan saya tidak membutuhkan regulasi baru lebih ke ranah teknis," jelas Fajry.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, mengatakan pengenaan pajak atas penghasilan alias PPh, termasuk aktivitas di media sosial, lazim dipraktikkan di dunia internasional.
Prianto menyebutkan, implementasinya sangat beragam. Terdapat dua cara mengenakan PPh, yaitu PPh dikenakan dari sisi payer (pihak yang membayarkan penghasilan), dan/atau PPh dikenakan dari sisi payee (pihak yang mendapatkan penghasilan).
"Transaksi yang ada di media sosial akan menjadi objek PPh jika memunculkan penghasilan. Ketika ada penghasilan yang diterima oleh seseorang/badan hukum, penambahan penghasilan tersebut akan dapat menambah konsumsi dan/atau harta penerimanya," jelasnya.
PPh, kata Prianto, dikenakan atas penghasilan yang berasal dari transaksi konvensional (offline commerce) maupun transaksi digital (online commerce). Menurutnya, kedua jenis transaksi tersebut tidak membedakan jenis PPh-nya karena asas equal level playing field (persamaan perlakuan).
Prianto menyebutkan, terdapat tantangan merumuskan aturan yang adil, merujuk pada perlakuan yang sama untuk transaksi di offline commerce dan online commerce.
Dia menuturkan, perumusan kebijakan melalui norma hukum harus memenuhi beberapa asas kebijakan yang baik, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan administrasi.
"Regulasi yang efektif harus dapat diimplementasikan sehingga penerimaan pajak dapat mencapai target. Selain itu, peraturan yang dirumuskan harus memberikan kepastian hukum serta kemudahan administrasi," kata Prianto.
Sebelumnya, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan sistem AI yang akan digunakan itu didesain untuk membaca pola data dalam jangka panjang. Teknologi itu dinilai mampu mengidentifikasi anomali yang bisa menjadi indikasi adanya penghasilan yang belum terlaporkan.
"Sekarang kan AI itu sudah sangat bisa kita train untuk bisa melihat irregularities. Jadi prinsipnya seperti machine learning ya, dari pattern data yang ada. Kita lihat di sosial media activity-nya seperti apa, kalau orang pribadi," kata Bimo kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Selasa (15/7).
Bimo memastikan pengawasan tak hanya bertumpu pada laporan SPT. DJP juga akan membandingkan data medsos dengan berbagai sumber lain untuk memverifikasi indikasi pendapatan yang tak dilaporkan.
“Pakai pattern, pakai mendeteksi yang common seperti apa, yang normal seperti apa, yang abnormal seperti apa. Yang abnormal tadi kita coba cek dengan sumber data yang lain," ujar Bimo.