
HIDUP memang ibarat roda pedati. Kadang dia ada di atas. Tetapi, karena berputar, kemudian suatu saat dia akan berada di bawah. Seperti itu jugalah dengan sepak bola.
Kekalahan 0-6 tim 'Garuda' dalam pertandingan terakhir penyisihan Piala Dunia 2026 Grup Asia dari Jepang menyisakan kepedihan. Apalagi jika dimunculkan arsip lama, ketika tim ‘Merah Putih’ menggunduli Jepang 7-0 di turnamen Piala Merdeka 1968.
Bagaimana dalam periode 57 tahun keadaan bisa berubah 180 derajat. Jepang yang dulu 'anak bawang' dan dipecundangi Soetjipto Soentoro dan kawan-kawan, berubah menjadi raksasa. Sekarang giliran tim nasional Indonesia yang diajari bagaimana seharusnya bermain sepak bola.
Semua itu terjadi karena persoalan konsistensi pembinaan. Di saat Jepang membangun sepak bola mereka dengan sistem pembinaan berjenjang yang konsisten, Indonesia justru terlena dan meninggalkan sistem pembinaan yang pernah membuat negeri ini disegani di Asia.
Jepang yang sebelumnya lebih terkenal dengan bisbol, tenis meja, dan bola voli, kini menjadi raksasa sepak bola. Proses membangun sepak bola mereka tidak perlu 57 tahun, karena Jepang baru memulainya pada 1990-an.
Ketika itu Jepang mencanangkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Namun, prasyarat yang ditetapkan FIFA, negara yang ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia harus mampu menunjukkan kualitas sepak bola mereka. Ukurannya sederhana, yakni bisa lolos ke putaran final Piala Dunia.
Ciri bangsa yang kuat, ketika mereka memiliki keinginan, maka dibuatlah roadmap menuju Piala Dunia. Mereka tunjuk konsultan untuk merumuskan peta jalan membangun sepak bola Jepang menuju Piala Dunia. Peta jalan itu mereka jalankan dengan konsisten dan konsekuen.
Kompetisi J-League digelar dan perusahaan-perusahaan besar Jepang diminta untuk menjadi sponsor dan sekaligus pengelola klub. Ketika pertama kali digulirkan pada 1992, hanya delapan klub yang berkompetisi. Namun, sekarang sudah meningkat menjadi 20 klub seperti di negara-negara Eropa.
Untuk mempercepat peningkatan prestasi tim nasional, Jepang pernah menempuh jalur naturalisasi. Akan tetapi, mereka menyadari tidak pernah ada jalan pintas dalam membangun sepak bola dan jalur naturalisasi hanya jalan semu menuju kesuksesan.
Jepang akhirnya memilih untuk menempuh jalan panjang. Mereka bina para pemain muda. Yang menonjol prestasinya 'dititipkan' di klub Italia ketika itu. Muncullah pemain-pemain seperti Kazuyoshi Miura dan kemudian Hidetoshi Nakata. Mereka menjadi inspirasi bagi anak-anak muda Jepang untuk menekuni sepak bola sebagai profesi.
Sekarang Jepang tidak perlu lagi ‘menitipkan’ pemain mereka di klub Eropa. Prestasi membuat banyak klub Eropa melirik para pemain Jepang dan sekarang hampir di semua kompetisi Eropa ada pemain asal ‘Negeri Sakura’.
Jalur pembinaan pemain yang benar membuat prestasi tim nasional otomatis meningkat. Jepang untuk pertama kali lolos ke putaran final Piala Dunia pada 1998. Sejak itu, Jepang tidak pernah lagi absen tampil di putaran final Piala Dunia.
Di tingkat Asia, Jepang tercatat empat kali menjadi juara Asia. Sejak pertama kali memenangi Piala Asia 1992, Jepang selalu menjadi favorit untuk menjuarai kejuaraan empat tahunan itu.
BUMI DAN LANGIT
Membandingkan sepak bola Indonesia dan Jepang sekarang ini ibarat bumi dan langit. Dua pertandingan penyisihan yang dimainkan menggambarkan jauhnya perbedaan kualitas permainan dari kedua tim. Sepuluh gol tanpa balas dalam pertandingan itu menunjukkan bahwa Indonesia kalah kelas.
Pertandingan Selasa lalu bahkan lebih memprihatinkan. Tidak ada satu pun serangan yang bisa dibangun Jay Idzes dan kawan-kawan, sehingga tidak ada sekali pun tendangan pemain Indonesia yang mengarah ke gawang Jepang sepanjang 90 menit pertandingan.
Dengan bola yang lebih banyak berputar di 30% bagian belakang lapangan Indonesia, wajar kalau masalah waktu saja gol akan bersarang di gawang Emil Audero Mulyadi. Bahkan dengan 10 pemain berada di kotak penalti, begitu mudah pemain Jepang untuk menembusnya.
Sembilan pemain naturalisasi yang diturunkan pelatih Patrick Kluivert tidak mampu juga mengangkat permainan Indonesia. Postur tinggi lima pemain belakang Indonesia tidak bisa mencegah pemain Jepang seperti Daichi Kamada untuk membuka kemenangan melalui sundulan kepala. Semuanya kembali pada teknik dasar sepak bola.
Apabila Jepang dikatakan memberikan pelajaran berharga kepada Indonesia pada pertandingan Selasa lalu, itu sangatlah tepat. Pemain naturalisasi bukan jaminan bahwa sepak bola Indonesia sudah naik kelas. Gol kedua Jepang menjadi contoh bagaimana enam pemain naturalisasi itu hanya bisa terpaku melihat pemain Jepang memindahkan bola dari kaki ke kaki di dalam kotak penaltı sebelum Takefusa Kubo mengeksekusi ke gawang Emil Audero.
Lebih menyakitkan lagi gol kedua yang diciptakan Kamada. Pemain Crystal Palace itu dengan tenang mengeksekusi gol di tengah pemain belakang dan kiper Emil Audero berguling-guling mencoba mengeblok tendangan, yang ternyata hanya dicungkil oleh Kamada.
Di kolom ini pekan lalu saya sudah menyampaikan, Kluivert belum menunjukkan sentuhan yang pantas membuat kita kagum. Lima bulan belum terlihat perbaikan dalam sisi serangan maupun pertahanan. Lihat kembali penampilan tim ‘Garuda’ saat menghadapi Tiongkok. Tidak ada gol yang bisa diciptakan kecuali gol penalti Ole Romeny. Ketajaman yang diharapkan bisa diturunkan Kluivert yang dikenal sebagai penyerang hebat di masanya, belum terlihat sama sekali.
Saat menghadapi Jepang semakin terlihat lemahnya serangan yang bisa dibangun pemain Indonesia. Bahkan taktik 'parkir bus' yang diterapkan Kkuivert tidak mampu mencegah begitu banyak gol yang harus bersarang ke gawang Indonesia.
Dengan hanya sembilan gol yang bisa diciptakan dari 10 pertandingan menunjukkan bahwa ketajaman tim masih lemah. Sebaliknya, dengan 20 gol kemasukan, berarti setiap pertandingan tim asuhan Kluivert harus kebobolan dua kali.
Tanpa ada perbaikan luar biasa dalam empat bulan ke depan, berat untuk bisa lolos ke putaran final Piala Dunia 2026. Dua pertandingan babak keempat yang harus dimainkan membutuhkan gol kemenangan dan mencegah jangan sampai gawang sendiri kebobolan.
Pengurus PSSI berhak untuk meminta rencana kerja empat bulan mendatang yang akan dilakukan Kluivert. Bahkan kalau perlu meminta komitmen para pemain naturalisasi untuk tidak mengambil libur musim panas mereka. Semua diminta menunjukkan kesungguhan menjalani pemusatan latihan agar memperbaiki lagi passing-passing bola yang masih banyak tidak cermat sekaligus membangun lebih baik kebersamaan tim.
Apalagi setelah 17 Juni nanti ketika FIFA menetapkan pembagian dua grup pada babak keempat. Setelah tahu siapa dua tim yang harus dihadapi, PSSI perlu tahu bagaimana cara mengalahkan mereka.
Now or never. Lebih baik bersakit-sakit selama empat bulan ke depan daripada menyesal tidak memanfaatkan secara optimal waktu yang tersedia. Kita harus mau bersusah payah karena roda Indonesia sedang berada di bawah. Permainan tim sekarang ini tidak cukup untuk bisa membawa Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 apalagi berbicara di kompetisi elite dunia nanti.