
Seorang polisi di Polda Sumut dilaporkan oleh seorang pedagang babi yang berinisial UZ ke Bid Propam Polda Sumut pada Kamis (22/5). Laporan itu bernomor SPSP2/96/V/2025/SUBBAGYANDUAN.
Laporannya terkait dugaan penipuan Rp 600 juta dengan modus menjanjikan kelulusan terhadap anak korban untuk jadi anggota kepolisian.
“Benar ada laporannya masuk, masih berproses ya,” kata Kasubbid Penmas Polda Sumut Kompol Siti Rohani saat dikonfirmasi kumparan, Jumat (23/5).
Awal Mula
UZ pun menceritakan awal mula dirinya tertipu. Kata dia, saat itu, anaknya ingin mendaftar ke instansi Polri. Jadi, UZ pun bercerita dengan rekannya.
Lalu, rekannya itu mengenalkan UZ dengan polisi tersebut. Tidak lama, pada Februari 2024, UZ pun bertemu dengan polisi tersebut di sebuah supermarket di Kota Medan.
Di sana, UZ meminta agar polisi tersebut menjadi pelatih fisik anaknya. Lalu, pada Maret 2024 anak UZ pun mendaftar. Ia pun menanyakan soal proses pendaftaran itu ke polisi tersebut.
Kala itu, polisi tersebut, menyinggung soal tanda lahir di bagian dada anak UZ. Tanda lahir itu disebut-sebut bisa menjadi salah satu alasan anak UZ tidak lulus Casis Polri.
“(Dia bilang) anak saya gak bisa masuk melalui jalur reguler karena masalah tanda lahir sehingga akan dimasukkan ke dalam kuota khusus Polda Sumut. Cuma di situ biayanya Rp 600 juta,” kata UZ.
UZ bilang, ia tak langsung menjawab tawaran itu. Ia harus berembuk dengan sang istri.
Dibikinkan Kwitansi Bermeterai
“Kami tanya 'Bagaimana kalau anak kami kalah (tak lulus)?' '(Dijawab) uang 100 persen kembali tanpa 1 sen pun dipotong.' Dibuatlah kwitansi dan meterai 10 ribu,” kata dia.
“Karena saya percaya, mana mungkin berani seorang polisi melakukan ini apalagi dilengkapi kwitansi. Karena saya percaya tak mungkin seberani kayak gini seorang polisi memberikan satu kwitansi apabila ini tidak benar. Apalagi kami tidak pernah ikuti tes anak-anak kami di Polri sehingga tidak ada pengalaman, begitulah kira-kira,” kata dia.
Hingga, pada April 2024 pembayaran pertama sebesar Rp 300 juta pun dilakukan di sebuah lapangan di Kota Medan. Pembayaran disertai dengan kwitansi.
Lalu, dua minggu kemudian, polisi tersebut meminta agar uang sisa dilunasi. Pembayaran dilakukan dengan cara ditransfer ke rekening istri polisi tersebut.
Hingga akhirnya, pada Juli 2024, pengumuman tahap awal disampaikan. Kala itu, anak UZ dinyatakan tidak memenuhi syarat. Saat itu, polisi tersebut menenangkan UZ dan keluarganya.
“Pokoknya dibilang 'Bapak dan ibu tenang nomor anaknya aman karena dia sudah di-mapping.' Aku kurang ngerti (apa yang dimaksud),” kata dia.
Dengan begitu, UZ pun menunggu. Sebab, kata polisi tersebut, anaknya sudah aman dan pasti lulus lantaran melalui jalur khusus.
Hingga pada pengumuman final, ternyata anak UZ tetap dinyatakan tidak lulus. Polisi tersebut kembali meyakinkan UZ. Kata dia, polisi tersebut menjanjikan anak UZ akan ikut pendidikan di SPN Hinai seminggu setelah jalur reguler pendidikan.
Rp 8 Juta Perlengkapan, Rp 6 Juta Karantina
Saat itu, anak UZ pun diminta membeli perlengkapan pendidikan. Mereka bahkan menghabiskan uang Rp 8 juta untuk keperluan itu.
Hingga pada Agustus 2024, anak UZ juga tak kunjung menjalani pendidikan. Namun, UZ beralasan lantaran para polisi jalur reguler sedang persiapan upacara 17 Agustus. Sehingga, pendidikan jalur khusus belum dapat dilaksanakan.
Namun, polisi tersebut menjanjikan anak UZ akan mengikuti karantina dan membutuhkan uang Rp 6 juta. Saat itu, anak UZ dikarantina di apartemen selama 3 minggu.
Di sisi lain, UZ sudah mulai resah karena sang anak juga sudah mulai meminta biaya hidup selama karantina. Selain itu, mereka sudah curiga lantaran para pendidikan di SPN Hinai sudah berjalan.
Polisi Tersebut Sakit, Utus Pengacara
Saat itu, UZ terus menghubungi polisi tersebut. Namun, UZ malah diblokir. Hingga, suatu hari, mereka mendapati kabar bahwa polisi tersebut sakit dan dirawat. Mereka pun berniat ingi menjenguk. Namun, setiba di rumah sakit, polisi tersebut dinyatakan sudah pulang ke rumahnya.
UZ pun melacak alamat polisi tersebut dan menghampiri rumahnya. Namun, ia melalui anaknya mengatakan tidak dapat bertemu.
Hingga akhirnya, polisi tersebut mengutus seseorang yang disebut sebagai pengacara. Mulanya mereka mengupayakan jalur mediasi. Sebab, UZ bahkan tak menuntut uangnya kembali sepenuhnya.
Ia hanya meminta Rp 350 juta untuk dikembalikan. Sebab, mereka meminjam sebagian uang untuk biaya masuk Polri dengan menggadaikan rumah dan tanah.
“Sebulan bunganya Rp 12 juta dari kami meminjam Rp 300 juta. Jadi sampai kami tawarkan pulangkan Rp 350 juta biar kami tarik surat rumah dan tanah kami dan tidak beban kami bunga itu,” kata dia.
“Enggak apa-apalah hangus Rp 250 juta karena kami enggak sanggup, kami kerja cuma bayar utang,” kata dia.
Jalur somasi pun sudah ditempuh dua kali. Namun, pihak polisi tersebut tidak memberikan respons yang baik.
“Saya pernah SMS pengacaranya adanya tanggapan (dari polisi tersebut). Katanya tak sanggup karena uang sudah diserahkan ke (pihak lain) kalau ada jalur lain yang bisa bapak tempuh silakan, ada SMS,” kata dia.