
KPK menjelaskan soal pemeriksaan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa yang tak dilakukan di Jakarta. Khofifah diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur 2019–2022.
Tidak seperti kebanyakan saksi lainnya yang diperiksa di Jakarta, Khofifah justru diperiksa oleh penyidik di Polda Jatim, Kamis (10/7) lalu. Bahkan, di hari yang sama, eks Ketua DPRD Jatim, Kusnadi diperiksa terkait kasus yang sama di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Ketua KPK Setyo Budiyanto, memberikan penjelasan dan kronologis pemanggilan terhadap Khofifah sebagai saksi dalam kasus dana hibah tersebut.
Setyo mengungkapkan, bahwa awalnya penyidik membuat surat panggilan untuk Khofifah pada 13 Juni 2025. Namun, Khofifah justru mengajukan penjadwalan ulang.
"Penyidik itu melakukan atau membuat surat panggilan di tanggal 13 Juni, kemudian di tanggal 17 [Juni], yang bersangkutan atau Khofifah itu mengirimkan surat untuk permintaan dilakukannya reschedule di tanggal 24 [Juni]," kata Setyo kepada wartawan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (17/7).
Menurut Setyo, saat itu Khofifah mengajukan penjadwalan ulang karena menghadiri wisuda anaknya. Permintaan Khofifah untuk diperiksa pada tanggal 24 Juni 2025 pun tak bisa dilakukan penyidik karena ada jadwal yang lainnya.
"Nah, KPK menjadwalkannya di tanggal 20 [Juni]. Kenapa dia [Khofifah] minta reschedule? Karena ada kegiatan keluarga yang tidak bisa ditunda, kalau tidak salah menghadiri wisuda anaknya, sehingga minta di tanggal 24 [Juni]," papar Setyo.
"Dari proses waktu itu, kemudian ada komunikasi dengan pihak penyidik gitu, di tanggal 24 [Juni] penyidik sendiri sudah ada jadwal lain, enggak bisa untuk kemudian melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Artinya, bahwa sebenarnya yang bersangkutan sudah siap dilakukan pemeriksaan di tanggal 24 di KPK," imbuh dia.

Setelah melakukan komunikasi, kata Setyo, KPK dan Khofifah kemudian menyepakati bahwa pemeriksaan dilakukan pada 10 Juli 2025. Saat itu, lanjutnya, penyidik memang tengah melakukan rangkaian penyidikan di Jatim.
"Dari hasil komunikasi, disepakati bahwa pemeriksaannya dilakukan di tanggal 10 Juli. Kenapa di 10 Juli? Bertepatan dengan penyidiknya atau satgasnya saat itu melaksanakan kegiatan penyidikan, pemeriksaan, penggeledahan, dan lain-lain di wilayah Jatim," tutur Setyo.
"Untuk efisiensi dan lain-lain, maka dilakukanlah pemeriksaan di tanggal 10 [Juli] itu di Surabaya," jelasnya.
Lebih lanjut, Setyo kemudian menjelaskan terkait pemeriksaan Kusnadi yang dijadwalkan pada hari yang sama dan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK.
"Pertanyaannya, kenapa Ketua DPRD saat itu diperiksa di Jakarta, sedangkan Khofifah dilakukan pemeriksaan di Surabaya? Jadi, panggilannya waktu itu yang bersangkutan [Kusnadi] adalah sudah tersangka," beber dia.
"Bahkan, akan dilakukan upaya paksa, tapi karena hasil pemeriksaan medis, ada catatan medis yang harus diselesaikan dulu. Sehingga, upaya paksa enggak jadi dilakukan," terangnya.

Setyo pun menekankan bahwa Kusnadi juga pernah diperiksa oleh penyidik di Jatim. Untuk itu, ia menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi oleh KPK terhadap Kusnadi maupun saksi lainnya yang diperiksa di Jakarta.
"Yang bersangkutan sendiri, terhadap yang KSN [Kusnadi] ini juga pernah dia dilakukan pemeriksaan di Surabaya. Jadi, sebetulnya tidak ada istilah diskriminasi. Di tanggal 24 Juni 2024, yang bersangkutan itu pernah, si tersangka ini pernah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi di Kantor BPKP Surabaya Jatim," ujar Setyo.
"Jadi, saya tegaskan kembali, sama sekali penyidik tidak melakukan diskriminasi terhadap para pihak-pihak tersebut. Semua dilakukan dengan pertimbangan dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa kegiatannya itu sesuai dengan aturan yang berlaku di KPK," tegasnya.
Adapun pemeriksaan Khofifah sebagai saksi itu berlangsung selama sekitar kurang lebih 8,5 jam. Dalam keterangannya, Khofifah mengatakan diperiksa sebagai saksi atas sejumlah tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah tersebut.
Kepada para penyidik KPK, Khofifah mengaku telah menyampaikan detail terkait proses penyaluran dana hibah Pemprov Jatim tahun anggaran 2019–2022.
"Materi pertanyaan sebetulnya tentang proses penyaluran dana hibah. Saya ingin menyampaikan bahwa semua proses penyaluran dana hibah oleh pemprov sudah sesuai dengan prosedur," tutur Khofifah kepada wartawan, usai pemeriksaan di Polda Jatim, Kamis (10/7) lalu.
Kasus Dana Hibah
Kasus dana hibah ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak. Sahat diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat. Dana hibah ini dinamai hibah pokok pikiran (pokir).
Terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat di Jatim.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Sahat yang merupakan politikus Golkar dan seorang pihak lain bernama Abdul Hamid diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Sahat sudah menjalani proses sidang dan divonis 9 tahun penjara. Pengembangan kasusnya saat ini tengah diusut.
Dalam pengembangan itu, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka, tapi identitasnya belum dibeberkan. Begitu juga konstruksi kasusnya.
Berdasarkan perannya, empat tersangka merupakan penerima suap. Tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara. Sementara, satu lainnya adalah staf dari penyelenggara negara.
Adapun 17 tersangka sisanya berperan sebagai pemberi. Sebanyak 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.