REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fenomena gig economy, yaitu pasar tenaga kerja berbasis kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer), makin mendapat sorotan. Hal ini terjadi di tengah penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan masih berlangsungnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), dalam kajian bertajuk Kajian Perlindungan Sosial dan Tenaga Kerja oleh Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, menilai bahwa meski TPT menurun, kondisi itu belum mencerminkan perbaikan struktural di pasar kerja.
“Di balik angka TPT yang menurun, banyak pekerja terdampak justru bermigrasi ke sektor informal dan gig economy sebagai strategi bertahan jangka pendek, yang sering kali tidak tercatat dalam statistik formal,” tulis kajian tersebut, dikutip Senin (16/6/2025).
Sementara gelombang PHK terus terjadi, banyak pekerja terdorong masuk ke sektor informal dan gig economy dengan kondisi kerja panjang dan minim perlindungan. Fenomena ini menandakan bahwa tantangan utama bukan hanya penciptaan lapangan kerja secara kuantitatif, tetapi juga peningkatan kualitas dan keberlanjutan pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah angkatan kerja per Februari 2025 mencapai 153,05 juta orang, naik 3,67 juta dari tahun sebelumnya. Penduduk bekerja meningkat menjadi 145,77 juta orang. TPT menurun dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen, meskipun jumlah penganggur secara absolut naik dari 7,20 juta menjadi 7,28 juta jiwa.
Pada saat yang sama, proporsi pekerja informal meningkat dari 59,17 persen menjadi 59,40 persen. Pekerja informal tersebar pada kategori berusaha sendiri, pekerja bebas, dan pekerja keluarga tidak dibayar. Sebaliknya, pekerja formal menurun secara proporsional.
“Pertumbuhan tenaga kerja masih didominasi sektor informal. Buruh/karyawan/pegawai tetap memang terbesar di pekerjaan formal, namun belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja,” terang peneliti.
LPEM FEB UI juga mengkritisi kontradiksi antara penurunan TPT dan peningkatan angka PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, sebanyak 77.965 pekerja mengalami PHK pada 2024, naik 20,21 persen dibanding tahun sebelumnya. DKI Jakarta mencatat PHK tertinggi (17.085), diikuti Jawa Tengah (13.130) dan Banten (13.042), dengan sektor manufaktur paling terdampak (24.013).
Menurut peneliti, banyak pekerja PHK beralih ke sektor informal atau gig economy seperti ojek daring dan perdagangan online yang tak tercatat dalam statistik resmi. Peningkatan jumlah pekerja paruh waktu dan setengah penganggur turut memengaruhi angka TPT. Pada Agustus 2024, jumlah setengah penganggur bertambah 2,22 juta orang.