
PADA 3 Juli 2025 kita memperingati tonggak penting dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia, yakni peringatan 105 tahun Pendidikan Tinggi Teknik (PTTI). Sebuah perjalanan panjang yang berakar pada berdirinya Technische Hoogeschool te Bandoeng tahun 1920, yang tumbuh dan berkembang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) hari ini.
Lembaga ini telah menjadi cikal bakal dari banyak pendidikan tinggi teknik di seluruh Nusantara, dan telah menghasilkan lulusan-lulusan pelopor yang menjadi penghela kemajuan bangsa Indonesia. Kita mengenal Ir. Soekarno dan Ir. Djoeanda, yang menjadi pemimpin negara, Prof. Rooseno sebagai Bapak Beton Indonesia, Prof. Iskandar Alisyahbana sebagai Bapak Satelit, Prof. Habibie sebagai Bapak Teknologi Dirgantara, hingga Dr (HC) Nyoman Nuarta, sang pemahat berbagai karya seni monumental.
ITB HARI INI: BAGIAN DARI SEJARAH, PENGGERAK MASA DEPAN
ITB hari ini bukan sekadar monumen sejarah. Ia adalah penggagas dan pelaku dari sejarah panjang itu sendiri. Sejarah yang ditulis bukan hanya tentang gedung dan kurikulum, melainkan oleh perjumpaan semangat kebangsaan, pengabdian para dosen, kerja keras para mahasiswa, serta cita-cita besar untuk membangun Indonesia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, kebesaran sejarah ITB tidak boleh dijadikan alasan untuk berpangku tangan. Masa depan tidak cukup dibangun oleh kenangan indah dan heroik masa lalu. Sejarah harus dijadikan rujukan guna merumuskan mimpi dan landasan untuk melompat lebih jauh. Dari sejarah, kita belajar membaca tanda-tanda zaman, menanggapi perubahan, dan menyiapkan diri dengan kerendahan hati serta keyakinan.
MENERAWANG ITB: PERGURUAN TINGGI SERATUS TAHUN LAGI
Bersama Prof. Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika dan pemikir pendidikan tinggi Indonesia--yang sejak lama mencurahkan perhatian pada masa depan perguruan tinggi dan peradaban ilmu pengetahuan di Tanah Air--kami berdiskusi, mencoba menerawang wujud perguruan tinggi masa depan. Dari diskusi itu tidak diperoleh jawaban seperti apa rupa perguruan tinggi seratus tahun dari sekarang. Bahkan, tak ada jaminan apakah perguruan tinggi seperti yang kita kenal hari ini akan masih ada di tahun 2125.
Namun, jika kita mengekstrapolasi skala perubahan yang terjadi hari ini dan berpijak pada satu premis: bahwa tiga dharma utama perguruan tinggi akan tetap hidup di abad ke-22. Pertama, memajukan dan memproduksi pengetahuan. Kedua, merawat kecakapan berpikir kreatif dan kritis pada generasi penerus. Dan, ketiga, memberi sumbangsih bermakna bagi masyarakat lokal dan keberlanjutan planet Bumi.
Dengan berpijak pada premis tersebut serta berangkat dari ruang dan waktu kita hari ini, dapat kita imajinasikan perguruan tinggi di tahun 2125 bukan sebagai peninggalan masa lalu, melainkan sebagai kekuatan yang senantiasa bertumbuh dan berevolusi bagi masa depan kemanusiaan.
Dunia berubah dengan kecepatan yang luar biasa. Ilmu dan teknologi berkembang dalam hitungan hari, bahkan menit. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi cara kita bekerja dan hidup, tetapi juga secara radikal mengubah cara kita belajar dan mengajar. Tantangan-tantangan baru muncul, dan bersamanya hadir pertanyaan penting: bagaimana perguruan tinggi akan tetap relevan dan dapat memberi kemanfaatan di tengah lanskap pengetahuan yang terus berevolusi?
Pengetahuan yang berkembang luar biasa pesat itu baru separuh cerita. Separuh lainnya yang lebih menantang ialah soal geografi pertumbuhan pengetahuan: ia akan tumbuh di mana-mana. Lokasi revolusi pengetahuan akan tersebar luas. Semua warga tanpa kasta dan tanpa batas ekonomi akan dapat mengaksesnya. Dunia pengetahuan akan semakin demokratis.
Kecerdasan buatan akan semakin akrab dengan dunia ilmiah, memungkinkan kita membaca data superbesar dengan sangat cepat. Kolaborasi manusia dengan mesin akan menjadi kekuatan utama kemajuan. Bukan dominasi mesin atas manusia, melainkan simbiosis kolaboratif. Maka, bisakah kita harapkan manusia abad ke-22 tetap punya hasrat untuk mengembangkan kebijaksanaan, etika, dan moral?
Di tengah penyebaran lumbung-lumbung pengetahuan, di mana perguruan tinggi akan berada dan berperan? Kami yakin, perguruan tinggi tetap akan ada, tetapi perannya akan berubah drastis. Ia akan menjadi simpul dalam jejaring inovasi global, bergotong royong secara real-time untuk menyelesaikan masalah dunia. Bayangkan seorang oseanografer di Bandung, ilmuwati hayati di Kongo, filsuf di Flores, dan sistem AI di Himalaya menulis makalah bersama untuk memperbaiki iklim global.
Perguruan tinggi akan ditantang bukan lagi sebagai gudang pengetahuan, melainkan sebagai kurator kebenaran—di tengah banjir informasi, hoaks, deepfakes, dan jebakan post-truth yang didorong algoritma yang tak netral.
CIVITAS YANG UTUH: MAMPU MEMBACA KONTEKS SOSIAL
Dengan memperhatikan uraian di atas, sivitas akademika tak cukup lagi hanya unggul dalam keahlian teknis spesialisasinya. Dunia masa depan membutuhkan insan akademik yang utuh, mereka yang tidak hanya piawai secara intelektual, tetapi juga mampu membaca konteks sosial, memahami dampak keputusan desain dan analisis, dapat menjadi penghela kemajuan, serta memiliki kepekaan moral dan nilai-nilai luhur.
Setiap sivitas harus mampu bertanya: “Untuk siapa ilmu dan teknologi ini dikembangkan?”, “Apa sumbangsihnya terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan planet ini?”, dan “Bagaimana sains, teknologi, seni, serta bisnis bisa menjadi jalan pengabdian, bukan sekadar kemajuan teknis?”.
CARA BELAJAR AKAN BERUBAH, TAPI SEMANGAT BELAJAR TIDAK
Seratus tahun ke depan, cara kita belajar akan berubah drastis. Kuliah satu arah dan ujian tertulis akan digantikan oleh sistem pembelajaran yang dialogis, lintas lokasi, dan lintas disiplin. Mahasiswa masa depan akan belajar dari jarak jauh, bersama tutor manusia dan AI, melalui proyek nyata dan menantang. Mereka akan mempraktikkan expert thinking--kemampuan menyelesaikan persoalan yang belum pernah dihadapi sebelumnya--dengan melibatkan etika, empati, dan kreativitas.
Dengan pesatnya pertumbuhan pengetahuan, expired date dari pengetahuan formal akan sangat pendek. Pengetahuan bisa kedaluwarsa sepekan setelah wisuda. Maka, belajar sepanjang hayat harus menjadi DNA setiap warga terpelajar. Mahasiswa masa depan bukan hanya siap kerja, tetapi siap terus belajar. Perguruan tinggi tidak lagi memberi lisensi profesi, tetapi lisensi untuk terus berkembang dalam jejaring pengetahuan global.
KAMPUS MASA DEPAN: RUANG FISIK DAN MAYA YANG BERTUMBUH
Kita bisa membayangkan gedung kampus besar menjadi kosong. Buku cetak, bahkan kertas, akan menjadi langka dan mahal. Akan tetapi, perguruan tinggi tetap ada—dalam bentuk baru. Ia akan menjadi lokus, nyata dan maya, tempat warga pembelajar dari seluruh dunia bersua dan berkolaborasi menciptakan solusi lintas disiplin, lintas budaya, dan lintas negara.
Kolaborasi antara manusia dan mesin akan menjadi norma, sebagaimana dimetaforakan sang Ganesha yang piawai menggunakan alat. Perguruan tinggi akan menjadi simpul dalam jaringan inovasi global.
THE SONG REMAINS THE SAME
Ruang kuliah besar akan kehilangan relevansi. Akan tetapi, meminjam judul album Led Zeppelin, The Song Remains the Same. Semangat keingintahuan, niat luhur untuk menyumbangkan ilmu demi kebaikan, dan tekad membangun masa depan bersama akan tetap hidup subur di sanubari masyarakat akademik.
Kita masih punya harapan bahwa seratus tahun dari sekarang akan tetap ada lumbung-lumbung peradaban nyata ataupun maya, tempat keingintahuan berjumpa dengan tekad, tempat pengetahuan melayani kemanusiaan, dan tempat masa depan dibangun.
PERTANYAAN UNTUK KITA HARI INI
Dengan memperhatikan apa yang sedang dan akan terjadi, pertanyaan yang paling penting hari ini bukanlah: “Apakah perguruan tinggi masih akan ada di tahun 2125?”, melainkan, “Apakah kita hari ini masih memiliki kebijaksanaan, keberanian, dan imajinasi untuk merumuskan serta mendesain ulang perguruan tinggi agar tetap berperan dan bermakna bagi umat manusia dan semesta?”. Inilah pekerjaan rumah kita bersama. Memang berat, tetapi dengan bergandengan tangan, kita bisa merancang dan mewujudkannya.
Selamat ulang tahun ke-105 Pendidikan Tinggi Teknik Indonesia. Semoga PTTI tetap relevan dan terus tumbuh sebagai pelopor kemajuan.
...