
Serapan belanja negara hingga April 2025 tercatat baru mencapai Rp 806,2 triliun atau 22,3 persen dari total pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Capaian ini mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp 849,2 triliun atau sekitar 25,5 persen dari APBN.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, penurunan realisasi belanja negara tahun ini tidak sepenuhnya mencerminkan lemahnya kinerja fiskal. Terdapat faktor khusus yang menyebabkan perbandingan dengan tahun lalu menjadi tampak lebih rendah.
Sejumlah ekonom melihat kondisi ini sebagai sinyal yang lebih serius dari sekadar faktor musiman. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut serapan anggaran 22,3 persen tergolong rendah, mengingat pada periode yang sama biasanya belanja sudah mencapai kisaran 25 persen.
“Angka ini termasuk relatif rendah, biasanya serapan hingga April mencapai sekitar 25 persen,” kata Wija kepada kumparan, Minggu (25/5).
Ia memaparkan tiga penyebab utama lemahnya penyerapan anggaran. Pertama, rendahnya penerimaan negara yang membuat pemerintah harus menahan belanja untuk menjaga arus kas. Kedua, banyaknya kementerian baru hasil restrukturisasi kabinet yang masih dalam tahap penyesuaian.
Ketiga, lambatnya serapan program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), yang hingga kini baru menyerap Rp 3 triliun dari total target Rp 171 triliun.
Lebih lanjut, Wijayanto menilai lemahnya realisasi belanja negara ini cukup berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun perlambatan pada kuartal I dan II 2025 lebih banyak disebabkan oleh faktor non-APBN, seperti perlambatan industri manufaktur, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan menurunnya daya beli masyarakat.
Ia juga menegaskan bahwa hambatan serapan anggaran bukan semata karena birokrasi atau proses pengadaan, melainkan juga karena koordinasi dan penyesuaian di tengah penerimaan negara yang tersendat. Akibatnya, peran APBN sebagai motor pertumbuhan ekonomi menjadi kurang optimal.
“Peran APBN sebagai motor pertumbuhan ekonomi jadi kurang optimal,” tegasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya, serapan belanja negara yang hanya mencapai 22,3 persen patut menjadi perhatian serius dan tidak bisa dianggap sebagai pola musiman belaka. Ia menyoroti adanya stagnasi struktural dalam pelaksanaan anggaran negara.
"Ini mengindikasikan bahwa masalah kita bukan hanya pada jumlah belanja, tapi pada kualitas dan efisiensinya. Proyek-proyek infrastruktur tertunda, bansos belum tersalurkan tepat waktu, dan belanja modal belum mengalir ke sektor-sektor strategis," ujarnya.
Yusuf menilai, di tengah lesunya konsumsi rumah tangga dan belum pulihnya investasi swasta, semestinya belanja pemerintah bisa menjadi tumpuan utama. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan eksekusi yang lambat dan tidak efisien, sehingga efek pengganda (multiplier effect) dari belanja negara tidak maksimal.
Lebih lanjut, Yusuf mengingatkan bahwa lemahnya serapan ini menimbulkan pertanyaan besar soal efektivitas manajemen fiskal pemerintah.
"Belanja yang lambat tapi utang yang terus naik, ini menciptakan ketidakseimbangan serius. Pemerintah membiayai defisit dengan menarik utang, namun anggaran yang dibiayai utang tersebut tidak segera bekerja di lapangan," tegasnya.